Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Kesultaan Palembang Darussalam (1550 – 1823)

Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.
Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

Kuto Gawang Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Beringin Janggut Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.

Kuto Tengkuruk Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.

Kuto Besak Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (Bambang Budi Utomo)

Silsilah Kesultanan Palembang Darusalam
1. Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1706)
2. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714)
3. Sultan Agung Komarudin Sri Teruno (1714-1724)
4. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1758)
5. Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758-1776)
6. Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
7. Sultan Susuhunan Muhammad Badaruddin II (1803-1821)
8. Sultan Ahmad Najamuddin II / Susuhunan Husin Dhiauddin (1813-1817)
9. Sultan Ahmad Najamuddin III / Pangeran Ratu (1819-1821)
10. Sulatn Ahmad Najamuddin IV / Prabu Anom (1821-1823)
11. Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-.....) (22) (23)

Masa Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin I) Sultan ke empat Kesultanan Palembang Darussalam merupakan sosok pemimpin berwawasan luas dan memiliki pengalaman yang amat memadai. Ia pernah menggagas pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengintrodusir pengetahuan dan teknologi yang baru, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah mapan. Di antara bentuk fisik yang didirikan adalah Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, tambang timah Bangka, dll. Pada masanya syiar dan dakwah keagamaan Islam mulai berkembang pesat. Maka tidak aneh bahwa banyak ulama di Nusantara berasal dari Kesultanan Palembang ini. Kemudian pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin (Sultan ke enam), juga dikenal sebagai periode pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena Sultan sangat menguasai teknik bagaimana cara berdagang yang bagus. Bahkan menolak dagang dengan VOC, karena ia lebih suka berdaganag dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau.

Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang banyak menjadi pembicaraan kalangan ahli sejarah. Ini dikarenakan pada masa pemerintahannya ia dijenal sebagai sultan yang pemberani dalam melawan kolonialisme Inggris – Belanda. Karena itulah ia memperoleh gelar sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk Sultan untuk mengusir Belanda dari Palembang.

 Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan. Sultan telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang. Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819. Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. (24)

Keruntuhan Kesultanan Palembang Darussalam
Serah terima keraton dengan seluruh kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dilaksanakan oleh putra Badaruddin yaitu Pangeran Prabukesuma dan menantunya Pangeran II, Kramajaya kepada Kolonel Bischoff pada tanggal 1 Juli 1821. Tanggal 16 Juli 1821 Jenderal De Kock melantik Prabu Anom menjadi Sultan Najamuddin IV dan ayahnya Husin Dhiauddin menjadi Susuhunan (Najamuddin II). Kesultanan Palembang dijadikan bagian dari Karesidenan Palembang di bawah pemerintahan kolonial Belanda sesuai perjanjian yang diadakan pada tanggal 18 Mei 1823. Selanjunya Sultan Najamuddin IV mendapat gaji dari Pemerintah Kolonial. Pelaksanaan perjanjian ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1823.(25)

Tindakan Belanda ini membawa konsekuensi kemarahan yang terpendam di keluarga Sultan maupun rakyat di pedalaman Musi Rawas. Pada bulan November 1824 terjadi reaksi atas perjanjian tersebut. Tanggal 21 November 1824 Sultan dibantu keluarga serta alim-ulama menyerbu ke garnisun Belanda di Kuto Besak. Serangan ini tak membawa hasil, Sultan Najamuddin IV melarikan diri ke daerah Ogan. Akan tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, kemudian menyerah kepada Belanda pada bulan Agustus 1825, kemudian dibawa ke Batavia dan dibuang ke pulau Banda akhirnya dipindah ke Menado pedalaman. Untuk itu Belanda mengangkat keluarga (menantu) mantan Sultan Badaruddin II, Pangeran Kramo Jayo (Kramajaya) sebagai Perdana Menteri, karena kerabat Badaruddin II inilah yang mempunyai kharisma di depan rakyat.(26)

Rakyat pedalaman masih mengharapkan kembalinya Kesultanan Palembang dan dengan lemahnya pemerintahan timbullah pergolakan-pergolakan bahkan kolonial di pedalaman, pemberontakan terutama di daerah Pasemah. Adanya peristiwa-peristiwa yang memusingkan pemerintah kolonial ini, Belanda tidak dapat mempercayai Pangeran Kramo Jayo dan Belanda menuduhnya terlibat. Kemudian ia dipecat dan dibuang ke Jawa pada tahun 1851. Dengan demikian habislah sisa-sisa peranan kekuasaan Kesultanan Palembang dan berganti dengan kekuasaan kolonial Belanda secara mantap