Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Tempat-tempat bersejarah

1. Benteng Kuto Besak
Benteng Kuta Besak terletak di belahan sisi utara sungai Musi, pada bidang tanah yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang-Darussalam yang ketiga setelah Kuta Gawang dan Beringin Janggut. Pada saat Kuta Besak dibangun, di sebelah timurnya terdapat bangunan keraton Kuta Lama. Kompleks keraton ini dikelilingi oleh sungai dan parit. Di sebelah selatan terdapat sungai Musi, di sebelah barat mengalir sungai Sekanak, di sebelah utara mengalir sungai Kapuran yang bersambung dengan sungai Sekanak di sisi barat dan sungai Tengkuruk di sisi timur, dan di sebelah timur mengalir sungai Tengkuruk.
Sungai Tengkuruk pada tahun 1928 ditimbun, dan pada saat ini telah menjadi Jl. Jendral Soedirman yang bersambung ke Jembatan Ampera. Pada lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai tersebut, pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-18-20) terdapat bangunan Kuta Lama (Kuta Tengkuruk), Masjid Agung, dan Kuta Besak. Sementara itu, di sisi utara dari Kuta Lama dan Kuta Besak serta di sisi barat Mesjid Agung merupakan tanah kosong (lapangan). Peta situasi ini dapat dilihat pada peta yang dibuat tahun 1811.



kutobesak1.jpg
 Denah situasi Keraton Kuto Besak tahun 1811 yang dibuat oleh Mayor William Thorn (Sumber: Cultureel Indie 1939).

Sebagaimana umumnya kota-kota yang bernuansa Islam, di dekat keraton biasanya terdapat bangunan masjid. Pada keraton di Jawa, di sebelah utara terdapat alun-alun, dan bangunan masjid biasanya terletak di sebelah barat alun-alun. Bangunan keraton menghadap ke arah utara. Di Palembang keadaannya berbeda dengan di Jawa. Bangunan keraton di jaman Kesultanan Palembang dibuat di tepi utara sungai Musi (bangunan keraton menghadap ke selatan), sedangkan bangunan masjid terletak di sebelah timurlaut keraton.
Mesjid Agung Palembang pada mulanya disebut Mesjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian mesjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Dari gambar sketsa yang sampai kepada kita, atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.
 kutobesak2.jpg
Sketsa Kota Palembang tahun 1811 oleh Jaekes. Di sebelah kanan tampak gapura pintu masuk Kuta Lama dan di sebelah kiri gapura pintu masuk Kuta Besak. Di sebelah kanan gapura Kuta Lama tampak bagian puncak menara Masjid Agung (Sumber: KITLV).

Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana mesjid-mesjid tua di I Sketsa Kota Palembang tahun 1811 oleh Jaekes. Di sebelah kanan tampak gapura pintu masuk Kuta Lama dan di sebelah kiri gapura pintu masuk Kuta Besak. Di sebelah kanan gapura Kuta Lama tampak bagian puncak menara Masjid Agung (Sumber: KITLV). Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk mesjid yang sekarang dikenal dengan nama Mesjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan Sketsa Masjid Agung Palembang tahun 1848. Sketsa ini dibuat setelah renovasi oleh Belanda pada tahun 1823 (Sumber: Cultureel Indie 1939). atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

kutobesak3.jpg
Sketsa Masjid Agung Palembang tahun 1848. Sketsa ini dibuat setelah renovasi oleh Belanda pada tahun 1823 (Sumber: Cultureel Indie 1939).

Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo sebelum membangun Mesjid Agung, beliau membangun keraton Kuta Lama atau dikenal juga Kuta Tengkuruk. Entah pada tahun berapa keraton ini mulai dibangun karena tidak ada data sejarah yang menyebutkan awal pembangunannya. Keberadaan bangunan fisik keraton ini berlangsung hingga tahun 1821. Akibat kekalahan Palembang pada perang besar tahun 1819 dan 1821, bangunan keraton Kuta Lama dihancurkan Belanda.
Di atas runtuhan puing keraton dibangun rumah Komisaris (regeering commisaris) Belanda. Bahan bangunannya seperti lantainya diambil dari lantai bekas keraton. Komisaris Belanda yang pertama kali menempati bangunan ini pada tahun 1825 adalah J.L. van Sevenhoven. Pada saat ini bangunan ini telah berubah fungsi menjadi bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kuta Besak pembangunannya dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 21 Februari 1797. Hingga saat ini belum diketahui arsiteknya karena data tertulis yang sampai kepada kita belum ditemukan. Pemrakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I, tetapi pelaksanaan dan penyelesaian pembangunannya dilakukan oleh Lawang Buratan (gerbang sisi barat) Benteng Kuto Besak yang masih tersisa. Sultan Muhammad Bahauddin. Biaya pembangunannya cukup besar dan harus dikeluarkan sendiri oleh Sultan dari perbendaharaannya.
kutobesak4.jpg
Lawang Buratan (gerbang sisi barat) Benteng Kuto Besak yang masih tersisa.

Benteng ini letaknya di sebelah barat Kuta Lama mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak.
Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa tinggal satu buah ada di sisi barat. Istana tempat tinggal Sultan yang disebut dalem atau rumah sirah terletak di bagian dalam benteng. Untuk mencapainya harus melalui beberapa pintu lagi. Selain bangunan dalem di dalam lingkungan benteng terdapat bangunan lain, yaitu pemarekan (pendopo), kaputren (tempat putri), segaran (kolam), taman, dan nudan (alun-alun). Di bagian luar dinding Benteng Kuto Besak terdapat bangunan-bangunan lain, misalnya pemarekan (gedung tempat menerima tamu asing), dan pendopo pemarekan. Kedua bangunan ini terletak di sebelah kanan (timur) lawang kuto. Di samping itu adabangunan-bangunan lain yang belum diketahui namanya.
Keadaan Masjid Agung Palembang setelah renovasi tahun 2000. Bentuk asli bangunan masjid masih dipertahankan, tetapi letaknya seolah-olah di bagian belakang masjid kalau dilihat dari arah Jl. Jenderal Soedirman (Dok. Bambang Budi Utomo).
Ketika Kesultanan Palembang-Darussalam diperintah oleh Sultan Mahmud Badaruddin II (putra Sultan Muhamad Bahauddin), di Palembang terjadi perang besar melawan Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin II membuktikan ketangguhan kekuatan Benteng Kuto Besak dalam perang Menteng (1819), yaitu sewaktu peluru korvet-korvet armada Belanda tidak dapat menggetarkan dinding-dinding Kuta Besak tersebut. Bukan itu saja, bahkan pada kelanjutan perang ini melalui benteng dan benteng pendukung lain di Pulau Bangka dan Plaju, armada Belanda berhasil dipukul mundur. Pada akhirnya di tahun 1821, setelah dipertahankan mati-matian benteng ini jatuh ke tangan Belanda. Kuta Besak tidak diruntuhkan, tetapi Kuta Lama diratakan dengan tanah untuk dibangun rumah kediaman Komisaris Belanda.

2. Kantor Walikota Palembang (Kantor Ledeng)

              Kantor Ledeng 1930-an

Pembangunan Menara Air, yaitu instalasi pengolahan air bersih pada masa Walikota Palembang dijabat Ir. R.C.A.F.J. Le Cocq d Armandville dapat dikatakan sungguh luar biasa. Pasalnya, saat itu keuangan Haminte (Gemeente) Palembang sedang dalam kondisi yang sangat buruk. Ketika tercetus ide untuk membangun Menara Air, akhirnya dikenal sebagai Kantor Ledeng.

pada tahun 1928, utang Haminta Palembang sudah menumpuk. Untuk pajak jalan dan jembatan saja, mencapai 3,5 ton emas, Ini belum lagi keterpurukan akibat parahnya sistem administrasi. Setahun kemudian, 1929, setelah pembuatan master plan kotyaoleh Ir. Th. Karsten, dibangunlah sarana air bersih. Selain bangunan berupa menara saat ini, Bangunan yang dibangun pada tahun 1928 selesai di bangun pada 1931  ini didirikan dengan gaya de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar. dengan menghabiskan biasa +/- 1 ton emas

pendidtribusiannya dikenal sebagai sistem gravitasi setinggi 35 meter dan luas bangunan 250 meter persegi. Bak tampungnya berkapasitas 1.200 meter kubik merupakan cara yang efektif pada saat itu untuk pendistribusian air sampai ke daerah klonial dan daerah pasar 16 ilir, segaran  dan sekitranya

Arsitek yang menangani pembangunan gedung juga dimanfaatkan sebagai Kantor Haminte dan Dewan Kota ini adalah Ir. S. Snuijf. Dipilihlah lokasi gedung di tepi Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak. Sehingga pada masa itu, posisi Kantor Ledeng tepat di tepian air. Namun kemudian, seiring dengan pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Sekanak, Sungai Kapuran pun ditimbun. Akibatnya dapat diduga. Jalan yang melintas di depan Kantor Ledeng itu pun mengalami banjir saat musim hujan disertai pasang naik Sungai Musi. Ini terlihat pada sebuah foto yang berangka tahun 1930-an.

Bangunan ini berdiri pada tahun 1928 yang dulunya dikenal dengan sebutan Water Tower (Menara Air) atau disebut masyarakat Palembang sebagai Kantor Ledeng.Pada Zaman Jepang pada tahun (1942 - 1945) Balai Kota (Kantor Menara Air) dijadikan Kantor Syuco-kan (Kantor Residen) dan terus dimanfaatkan sebagai balaikota sampai dengan tahun 1956.Bangunan Kantor Walikota Palembang sejak awal telah digunakan sebagai pusat pemerintahan Gemeente Palembang.

Pada saat Kemerdekaan RI diproklamasikan, 17 Agustus 1945, Kantor Ledeng menjadi saksi heroisme pemuda di Palembang. Para pejuang yang terdiri atas bekas opsir Gyu Gun, yaitu Hasan Kasim, M. Arief, Dany Effendy, Raden Abdullah (Cek Syeh), Rivai, dan mantan opsir Gyu Gun lainnya, bekerja sama dengan kelompok pemuda yang dipimpin Mailan beserta pembantunya, Abihasan Said dan Bujang Yacob. Mereka mengibarkan bendera kebangsaan di empat sisi atas Kantor Ledeng. 

Tanggal 21 Agustus 1963 Perusahaan Water Ledeng dipindahkan menjadi salah satu tehnik air bersih di Dinas Pekerjaan Umum Kota Praja Palembang. Sejak Saat itu (1963) Kantor Menara Air berubah menjadi Kantor Pusat Pemerintahan Kota Praja Palembang yang sekarang disebut Kantor Walikota.